Krisis akan energi yang saat ini tengah dialami oleh China telah memaksa berbagai industri dalam negeri yang masih sangat bergantung kepada bahan baku impor tersebut akhirnya melakukan penyesuaian. Dengan seiring berjalannya hal tersebut, telah membuka banyak peluang untuk mengisi pangsa pasar China.
Salah satu dari industri negara kita yang saat ini masih bergantung kepada bahan baku impor tersebut adalah bidang farmasi. Tercatat dari total kebutuhan BBO (Bahan Baku Obat) yang tersebar di dalam negeri mencapai mulai 90 persen hingga 95%. Sekitar 60% bahan baku tersebut dipenuhi oleh negara China serta sisanya didapatkan dari negara India.
Vincent Harijanto selaku dari Ketua KPPIBB (Komite Pengembangan Perdagangan & Industri Bahan Baku) GPFI (Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia) mengatakan bahwa dengan krisis listrik yang saat ini sedang melanda China tentunya akan ada potensi mengenai penumpukan-penumpukan masalah di suplai bahan bakunya.
Disamping itu juga ada masalah tentang kelangkaan pada container yang akhirnya mempengaruhi rantai pasok juga belum sepenuhnya reda. Vincent menambahkan bahwa sejak masalah tentang container terjadi, sejumlah pelaku usaha dibidang industri telah melakukan penyesuaian frekuensi akan pengapalan bahan baku.
Pemesanan Bahan Baku Dilakukan Secara Bertahap
Dikatakannya bahwa pemesanan bahan baku telah dilakukan secara bertahap. Yang biasanya melakukan pemesanan 2 kali dalam 3 bulan, naik menjadi 5 bulan. Selain itu juga, industry tersebut telah melakukan pengalihan akan sumber bahan baku ke negara India selain juga telah menyiapkan stok pengaman selama 4 bulan.
Kemacetan dari suplai bahan baku ini kembali mendapatkan sentilan akan kemandirian bahan baku untuk obat didalam negeri yang terus menjadi masalah hingga bertahun-tahun yang selalu dialami industri farmasi.
Oleh Arief Pramuhanto selaku Direktur Utama dari PT. Indofarma Tbk. (INAF) telah membenarkan mengenai sebagian besar dari suplai bahan baku di perseroan telah berasal dari negeri India dan negeri China. Walaupun belum dapat mensubstitusi hingga full, sebagian dari suplai bahan baku yang telah dipenuhi oleh produsen-produsen dalam negeri yang salah satunya adalah PT. KFSP (Kimia Farma Sungwun Pharmacopia).
Ditambahkannya bahwa dia menyakinkan bahwa hingga saat ini tidak terjadi masalah akan suplai bahan baku yang diimpor dari China. Diapun menegaskan cara untuk mengamankan pasokan dalam negeri adalah mengambil dari PT Kimia Farma dan India.
Sementara itu, dikatakan oleh Pamian Siregar selaku Presiden Direktur dari KSFP telah menyatakan bahwa kendala dari pasokan bahan baku tersebut tidak serta merta akan menjadi peluang bagi seluruh industri BOBO yang ada di dalam negeri dalam memperluas serapannya.
Pasalnya, salah satu dari semua tantangan terbesar yang akan menghalangi mereka adalah adanya penyerapan BBO didalam negeri yang dilakukan oleh industri farmasi adalah proses tentang peralihan akan sumber daya BBO yang tentunya membutuhkan waktu serta biaya yang tidak sedikit.
Industri Farmasi Perlu Melakukan Reformulasi
Disampaikan oleh Pamitan kepada Bisnis bahwa industri di bidang farmasi biasanya memang harus melakukan sebuah reformulasi untuk dapat menghasilkan produk-produk existing yang telah menggunakan sumber BBO yang baru agar kualitasnya menjadi ekuivalen.
Dia mengatakan bahwa proses akan uji ekuivalensinya tersebut rata-rata memang membutuhkan waktu dari 1 tahun hingga 1,5 tahun. Selain faktor dari waktu, proses ekuivalensi tersebut juga mempunyai syarat akan penambahan biaya.
Lanjutnya dia mengatakan bahwa walaupun ada kondisi dimana force majeure suplai BBO impor yang telah terjadi dikarenakan oleh kondisi di China, industri farmasi yang ada di dalam negeri tentu menjadi tidak dapat dengan mudah untuk menggunakan BBO dalam negeri yang diproduksi oleh KFSP.
Tidak berbeda dengan industri farmasi. Industri kimia di dalam negeri pun juga masih dipenuhi dari luar negeri atau impor. Salah satu pemenuhannya adalah soda abu atau soda ash yang peruntukannya menjadi bahan baku dari produk-produk kehidupan sehari-hari yang selalu dibutuhkan oleh masyarakat seperti kaca, pasta gigi, deterjen, hingga produk-produk turunannya seperti cermin dan gelas hingga bahkan untuk kendaraan listrik.
Dikatakan oleh Hari Supriyadi selaku Presiden Direktur dari PT. Kaltim Parna Industri bahwa dalam setahun, Indonesia membutuhkan bahan baku hingga 1,2 juta ton soda abu yang pemenuhannya mencapai 90% dipenuhi dengan melakukan impor.
Dikatakannya bahwa kebutuhan ASEAN sendiri hingga 2,9juta ton dan tentunya kebutuhan ini akan semakin meningkat apalagi jika penggunaan dari kendaraan listrik telah semakin banyak.
Hari mencontohkan bahwa kebutuhan akan soda ash atau soda abu di negeri China terus mengalami peningkatan hingga 2 juta ton per tahunnya. Untuk itulah dia berharap bahwa Indonesia akan mampu untuk memenuhi kebutuhan dari soda abu itu sendiri.
Dia juga menilai bahwa Indonesia akan sangat memungkinkan jika ingin memproduksi soda abu sendiri karena Indonesia mempunyai bahan baku serta sumber daya manusia yang sangat kompeten. Apalagi saat ini pemerintah telah mempunyai pabrik kaca terbesar yang terletak di Batang daerah Jawa Tengah dan membutuhkan stok bahan baku dengan jumlah yang besar.